kotatuban.com– Perceraian seakan menjadi jalan terakhir saat terjadi perselisihan suami-istri yang tidak dapat dimusyawarahkan lagi. Tak heran, angka perceraian di Tuban, tahun 2014 ini masih menunjukkan trend yang semakin meningkat. Herannya, mayoritas penggugat cerai justru datang dari pihak istri.
Data yang diperoleh kotatuban.com dari Pengadilan Agama (PA), Kabupaten Tuban, istri lebih banyak meminta cerai (cerai gugat) dibanding suami mencerai istri (cerai talak).
“Memang, cerai gugat lebih banyak ketimbang talak, ini berarti wanita atau pihak istri yang mengajukan cerai,” ujar Wakil Panitera, Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Tuban, Sholihin Jami’.
Sepanjang tahun 2013, jumlah perceraian sebanyak 2.871 kasus, dan 1.511 diantaranya adalah cerai gugat (atas permintaan istri), sedangkan cerai talak (diceraikan suami) sebanyak 1.360. Tingginya kasus perceraian gugat juga terjadi di tahun 2014, hingga ahir bulan Mei ini, jumlah perceraian sebanyak 240 kasus, dengan dominasi perceraian masih kasus cerai gugat dengan jumlah 135 kasus, dan cerai talak 105 kasus.
Sholihin Jami’ menjelaskan, banyak hal yang menjadi faktor terjadinya gugat cerai, diantaranya, pihak laki-laki atau suami dianggap tidak bertanggung jawab dengan keluarga. Selain itu, juga pengaruh globalisasi dewasa ini, hal ini tidak lepas dari gaya hidup modern masyarakat, ditunjang saluran informasi yang semakin terbuka memberikan pengaruh negative terhadap gaya hidup masyarakat.
Faktor lainnya adalah karir seorang wanita yang terkadang membuat mereka tidak punya waktu untuk keluarga dan merasa enjoy hidup sendiri. Disamping itu ketika seorang wanita merasa mampu mencari nafkah sendiri tanpa tergantung suami juga menyebabkan rasa superior istri yang menyebabkan mereka lupa bahkan abay terhadap kewajiban rumah tangga. Faktor lain yang juga banyak menjadi sebab perceraian adalah kondisi ekonomi.
“Alasan pertama, memang kebanyakan laki-laki tidak bertanggung jawab, namun ada juga istri yang merasa sudah mampu mencari nafkah sendiri sehingga melupakan fungsi perempuan sebagai penyiap generasi, dan sebagai pendamping suami mengalami pergeseran dan sudah tidak sesuai dengan kodratnya,” kata Sholihin.
Selain itu disampaikan Sholikin, adanya ketidakpuasan istri terhadap penghasilan suami juga menjadi factor penyebab perceraian. Dengan ekonomi yang terbatas, sang istri merasa haknya tidak mampu dipenuhi oleh suami, lalu istri tersebut menggugat cerai suami. Apalagi kalau kemudian si istri menjadi wanita karir dengan penghasilan melebihi suaminya.
“Tidak dilarang berkarir, namun kebanyakan setelah perempuan mampu mencari uang, mereka cenderung tidak puas dengan penghasilan suami, ini kemudian memicu perceraian, “imbuhnya.
Secara hukum lanjut Sholihin, perempuan memang boleh melakukan gugatan cerai, namun gugatan maupun talak, tidak semestinya terjadi, apalagi jika sudah ada anak, tentu ini akan mengganggu pertumbuhan psikologis anak. (kim)