kotatuban.com-Ratusan warga rebutan bunceng di klenteng Kwan Sing Bio Tuban saat ritual sembahyangan rebutan yang digelar oleh umat klenteng tersebut. Sedikitnya 1500 bunceng yang disiapkan di pelataran depan klenteng langsung diserbu warga usai sembahyang menghormati arwah para leluhur.
Seribu limaratus bunceng yang terdiri dari tumpeng kecil, makanan ringan, gula, kopi dan nasi itu langsung ludes dalam hitungan menit setelah gendang tanda rebutan dipukul dari dalam klenteng berbunyi.
Tidak hanya orang dewasa yang iku rebutan bunceng, anak-anak dan orang tua serta ibu-ibu juga tidak ketinggalan merebutkan bunceng yang dikemas dalam plastik merah dengan ditancapkan bendera berwarna merah dan kuning bertuliskan umat penyumbangnya.
Peserta rebutan yang sebagian besar adalah ibu-ibu rela menunggu lebih dari dua jam agar dapat mengantri di tempat yang paling dekat dengan meja tempat bunceng yang akan diperebutkan.
Sumarni, salah satu warga yang ikut upacara rebutan mengatakan, sudah menunggu gendang ditabuh sejak satu jam sebelum sembahyangan dilakukan umat Tri Dharma. Dia datang bersama anaknya yang berusia sekitar tiga tahun, ikut berebut untuk mendapatkan bahan makanan yang disediakan.
“Dapat berapa ini mas, enam kalau tidak salah,” kata Sumarni sambil menggendong anaknya saat ditanya kotatuban.com.
Sumarni mengaku, bunceng yang didapat akan dibagikan kepada keluarga maupun tetangganya yang tidak ikut upacara rebutan. Biasanya bunceng juga langsung dimakan karena sebagian juga makanan yang sudah siap saji, seperti roti dan makanan ringan.
“Nanti dibagi sama tetangga mas, kalau makanan yang sudah matang ya dimakan, ini ada roti juga,” terang Sumarni.
Sementara itu, Gunawan Putra Wirawan, ketua Klenteng Kwan Sing Bio, upacara rebutan ini merupakan bagian dari ritual sedekah bumi yang dilaksanakan umat klenteng setiap bulan tujuh. Setelah tanggal lima belas tahun imlek, seperti sebutannya, sembahyangan rebutan, bunceng tidak dibagi melainkan diperebutkan.
“Sembahyang rebutan ini juga bisa disebut sedekah bumi, yang tujuannya adalah menghormati arwah leluhur yang telah meninggal. Tradisi ini kita lakukan rutin setiap tahun pada bulan tujuh setelah tanggal lima belas tahun imlek,” terang Gunawan. (kim)