Kotatuban.com – Maraknya bisnis warung kopi belakangan ini ternyata bukan indikasi bangkitnya basis ekonomi rakyat. Sebaliknya, justru menjadi indikasi betapa kian terpuruknya perekonomian akibat pandemi Covid-19. Apa pasal ? Karena ternyata pelaku bisnis warung kopi kaki lima yang belakangan ini tumbuh seperti jamur di musim hujan tersebut adalah para pengembang. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran sektor property nyaris tidak bergerak alias sekarat.
” Ya mau gimana lagi, grafik (permintaan) tidak bergerak malah cenderung menurun, sementara kami perlu modal kita berputar agar beban ekonomi yang kami tanggung tidak semakin berat, ” ujar Darmuji, ST, salah seorang pengembang, Minggu (28/2/2021).
Darmuji yang kini menjabat Sekretaris Gakindo (Gabungan Kontraktor Indonesia) itu mengakui, bisnis warkop tersebut belum mampu sepenuhnya menjadi substitusi pendapatan yang didapat pengembang. Tetapi setidaknya bisa menolong menyelamatkan perekonomian domestiknya.
” Yang penting dapur masih bisa ngepul, gitu aja sudah syukur,” timpalnya.
Darmuji memaklumi trend negatif pasar property saat ini, karena akibat pandemi covid-19, daya beli masyarakat anjlok ke titik terendah. Banyak yang kehilangan pendapatan akibat diberlakukannya pembatasan untuk mencegah penularan virus itu. Ditambah lagi keuangan negara sebagian besarnya juga dialokasikan pada kesehatan sebagai upaya penanganan wabah covid-19. Banyak proyek-proyek skala besar yang dijadwal ulang sehingga mau tidak mau perusahaan musti mengistirahatkan pekerjanya.
Untuk kasus Tuban, tambah Darmuji, lesunya pasar itu masih harus ditambah dengan kian meroketnya harga tanah. Hadirnya proyek-proyek berskala besar semisal proyek Pertamina dan pembangunan Kawasan Industri Terpadu (KIT) menjadi faktor pendorong meroketnya harga tanah.
” Sekarang ini harga (tanah) sudah mencapai kisaran Rp 750 ribu – 1,5 juta per meter persegi. Harga bahan-bahan bangunannya juga naik sampai 30 persen, demikian ongkos tukangnya, ikutan naik. Harga per unit untuk type 45 dan 36 saja sekarang sudah sampai Rp 350 an juta. Sementara untuk yang subsidi, seharga Rp 150-an juta, nggak terlalu banyak peminat karena kebanyakan lokasinya jauh dari akses jalan besar,” papar Darmuji.
Pengembang seperti dia tentu berharap perekonomian bisa segera dipulihkan sehingga daya tawar masyarakat terhadap pasar property kembali menguat. Tapi tentu saja kapan waktunya belum bisa diprediksi, sebab kapan berakhirnya pandemi juga belum ada yang bisa memastikan.
” Ya kalau pandeminya berlanjut terus, ya kita jualan kopi saja. Tapi ya khawatir juga wong daya beli masyarakat menurun, tentu warung kopi juga terimbas, dong…” katanya. (ahmad S)