oleh

SEMUT, GAJAH, DAN TUHAN DI BALIK PANGGUNG PILKADA TUBAN 2024

Dunia politik Tuban kali ini menyuguhkan tontonan sangat menarik tentang dinamika perebutan kekuasaan di satu sisi dan upaya melawan dominasi di sisi lain. Fenomena ini memberi kita pelajaran bahwa apa yang awalnya dianggap besar tak terkalahkan dan apa yang terlihat kecil dan cenderung diremehkan, pada titik tertentu bisa terlihat sama dan sepadan, baik dalam potensi maupun kemungkinannya.

Pada permukaan, pertarungan antara Riyadi – Gus Wafi melawan Lindra – Joko, memang tampak seperti skenario klasik: David versus Goliath atau Semut melawan Gajah dalam legenda lokal. Namun jika kita cermati lebih jauh, realitas politiknya jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana analogi tersebut.

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan ambang batas pencalonan dari 20 persen menjadi 7,5 persen, mengubah secara dramatis lanskap perpolitikan nasional. Keputusan ini membuka ruang bagi partai-partai kecil, yang kerap disebut partai gurem, untuk menunjukkan eksistensinya. Keputusan MK tersebut bukan hanya memberi peluang dan harapan baru, tapi juga momentum bagi mereka untuk bisa tampil di panggung politik yang sama, sebuah arena yang awalnya tak terjangkau bahkan mungkin tak terpikirkan sama sekali.

Pasangan Riyadi – Gus Wafi, sebagai representasi dari koalisi partai-partai gurem, mendapatkan kesempatan langka untuk bertarung di gelanggang politik lokal yang selama ini cenderung didominasi oleh partai-partai besar. Namun, apakah kesempatan ini akan mampu dimainkan dengan epik dan akhirnya meraih kemenangan yang heroik? Atau hanya akan menjadi panggung sementara bagi kekuatan kecil yang pada akhirnya akan tetap kalah dan dipaksa menyerah oleh keadaan dan keterbatasan?

Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana politik bukan sekadar soal ukuran dan kekuatan, tetapi juga soal taktik, strategi, serta bagaimana memahami situasi dan kondisi lapangan secara utuh. Kita sering terjebak dalam romantisme bahwa yang kecil selalu berpeluang mengalahkan yang besar. Tetapi apakah benar bahwa Semut akan selalu mengalahkan Gajah dalam semua situasi? Dalam legenda, ya, semut selalu menang; tetapi legenda hanyalah cerita yang kita gunakan untuk memberi harapan dan inspirasi, bukan prediksi pasti tentang bagaimana sesuatu akan terjadi.

Riyadi, yang –dalam berbagai kesempatan, kerap menyebut dirinya sebagai semut, tentu berharap bahwa rakyat Tuban akan melihat pertarungan ini melalui lensa tersebut. Dengan cara pandang ini, Riyadi dan Gus Wafi adalah representasi dari mereka yang merasa kecil dan terpinggirkan, mereka yang tak punya banyak modal, yang harus berjuang dengan segala keterbatasan, dan lalu mengharap simpati dan dukungan dari yang merasa senasib, seperjuangan. Sementara itu, Mas Lindra, yang diibaratkan sebagai gajah, adalah lambang dari kekuatan politik besar, modal yang mumpuni, jaringan yang luas, dan sumber daya yang ‘dianggap’ tak terbatas –tentu dalam konteks politik lokal.

Namun sejenak mari kita bertanya : Apakah besar dan mayoritas itu selalu buruk? Apakah kecil dan minoritas pasti baik? Apakah Semut selalu representasi dari yang kecil dan tertindas, dan Gajah adalah selalu tirani dan otoriterianism?

Dalam politik, kebenaran tidak pernah tampil hitam-putih. Gajah pun bisa menjadi simbol kekuatan yang dibutuhkan untuk membawa perubahan besar, untuk memastikan stabilitas, dan untuk melaksanakan kebijakan dengan daya yang tak dimiliki oleh yang kecil. Sebaliknya, semut kecil juga bisa menjadi simbol dari kekacauan, fragmentasi, atau bahkan ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan perubahan yang makin besar dan makin komplek.

Bagi saya, pertarungan ini bukan soal siapa yang lebih besar atau kecil. Ini soal siapa yang lebih bisa memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki secara cerdik dan paling efektif.

Riyadi – Gus Wafi, bisa memanfaatkan status mereka sebagai “outsider” politik untuk meraih simpati dari mereka yang merasa terpinggirkan oleh status quo. Secara efektif, mereka harus bisa meyakinkan tim pengusung, pendukung dan simpatisan tentang bagaimana kekuatan kecil bisa membuat perubahan besar jika mereka bersatu, bekerja keras, militan dan tidak menyerah pada tekanan situasi dan kondisi apapun. Tak ada yang tak mungkin jika mau berusaha.

Di sisi lain, pasangan Lindra – Joko juga tidak boleh memandang remeh lawan mereka. Sebab, Gajah yang terlalu percaya diri bisa saja tumbang oleh serangan semut yang masif dan bertubi-tubi. Gajah harus cerdik, gesit, dan tidak terjebak dalam ilusi bahwa besar selalu menang. Mereka harus jeli melihat situasi, membaca dinamika lapangan dengan cermat dan hati-hati, memahami titik-titik kelemahan lawan, memperkuat jaringan, dan bukan hanya mengandalkan dominasi mayoritas atau kekuatan finansial yang mereka miliki saat ini.

Namun di luar persaingan ketat ini, kita harus mengingat satu hal yang jauh lebih penting yakni kerukunan dan kebersamaan. Di balik semua perbedaan pandangan dan pilihan politik, kita semua bersaudara. Demokrasi memberi ruang bagi kita untuk berbeda pilihan dan pendapat, memilih jalan yang tak selalu searah, namun itu tidak boleh memutus dan memupus kerukunan dan kebersamaan yang telah terbina selama ini.

Kelak, saat masa kampanye berakhir, ketika suara telah dihitung, dan hasil telah diputuskan, siapa pun yang dinyatakan menang atau kalah, kita harus kembali pada satu kesadaran bahwa kita hidup di satu tempat yang sama, menghirup udara yang sama, berbagi harapan dan impian yang sama. Kita harus terus memelihara rasa kebersamaan itu, memupuk persaudaraan, persatuan dan kembali rukun seperti sebelumnya.

Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mampu menerima perbedaan dengan hati terbuka dan kepala dingin. Pilihan yang berbeda dalam politik bukan alasan untuk saling memusuhi atau mengabaikan satu sama lain. Justru di saat-saat seperti inilah, kesadaran kita sebagai rakyat harus semakin kuat. Ketika kita menghormati pilihan orang lain, sejatinya kita sedang menghormati hakikat demokrasi itu sendiri. Inilah esensi politik yang sesungguhnya: memberikan ruang bagi semua suara, tanpa meruntuhkan fondasi persatuan.

Karena itu, siapa pun yang terpilih, kemenangan mereka harus menjadi kemenangan kita bersama, karena pemimpin yang kuat hanya bisa muncul dari rakyat yang bersatu.

Pada akhirnya, rukun, bersatu dan saling menghormati adalah pilihan terbaik dan paling bijaksana. Tidak ada gunanya menang jika kita kehilangan saudara. Tidak ada gunanya meraih kekuasaan jika itu merusak kebersamaan. Mari kita jaga persatuan, mari tetap berjabat erat dalam perbedaan dan keragaman. Karena sesungguhnya, perbedaan adalah kekuatan jika kita memahaminya dengan bijak.

Selamat berjuang, silahkan bertarung. Bertempur sampai titik batas kekuatan. Kerahkan semua daya upaya yang kalian punya. Namun harus taat dan patuh pada aturan permainan. Dan setelah semua itu dilakukan, kalian harus sadar bahwa ada batas di mana manusia hanya bisa berusaha — selebihnya, keputusan ada di tangan Alloh SWT. Seperti pepatah lama yang berbunyi : ” Man proposes, (but) God disposes.” Artinya :
Manusia hanya bisa berusaha, tapi Tuhan-lah yang menentukan hasil akhirnya.

Semoga tulisan ini seimbang dan berimbang.
Wallohu’alam Bishowab.

Tribun Kecil, 08 September 2024

Trawoco Hadikusumo

News Feed