kotatuban.com-Dinas Kesehatan terus berupaya untuk menghilangkan stigma negative dan pandangan miring terhadap warga Tuban yang menderita Kusta. Salah satunya dengan menggandeng Tokoh Masyarakat (Tomas) dan Tokoh Agama (Toga) sekitar penderita penyakit yang setiap tahunnya ditemukan hingga 20.000 di Indonesia.
“Perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat agar mereka yang menderita Kusta ini tidak terkucilkan, karena mereka butuh perhatian,” ujar Kepala DInas Kesehatan Kabupaten Tuban, Saiful Hadi, Sabtu (10/10).
Saat ini, di Kabupaten Tuban ada 235 penderita kusta yang terdaftar dan diobati di seluruh Puskesmas wilayah Kabupaten Tuban. Selain itu juga sudah ditemukan 91 penderita baru di tahun 2015. Dengan angka prevalensi sebesar 2,07 per 10.000 penduduk.
Dari jumlah itu, penderita kusta pada anak sebanyak 4 % dari total penderita. Dan masih banyak ditemukan penderita yang sudah mengalami cacat tingkat 2 yaitu sebanyak 20 % dari total jumlah penderita. Angka ini cukup tinggi, dan menunjukkan telah terjadi delay (penundaan) dalam penemuan kasus baru sehingga masih terjadi transmisi penularan di masyarakat sekitar penderita tersebut .
“Hal ini salah satunya disebabkan karena stigma di masyarakat, mereka tidak mau perhatian, hingga ini dibiarkan tidak dilaporkan,” lanjut Saiful.
Anggapan di masyarakat yang salah tentang kusta sebagai penyakit kutukan atau keturunan, kusta tidak dapat disembuhkan, mudah menular sehingga pada akhirnya menyebabkan dampak psikologis dan sosial bagi penderitanya.
Penderita akhirnya merasa malu, hilangnya harga diri sampai depresi, berhenti sekolah, dikucilkan dan dianggap menganggu oleh masyarakat, hingga ditolak saat menggunakan fasilitas umum.
“Makanya perlu perhatian dan peran serta seluruh elemen masyarakat salah satunya adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat, yang dapat memberikan penjelasan kepada warga lainnya, tentang penyakit itu,” terang Saiful.
Selain itu juga, kurangnya pengetahuan masyarakat pada gejala awal penyakit kusta menyebabkan keterlambatan mendiagnosa penyakit kusta sehingga terjadi kecacatan yang permanen. Setelah sembuhpun mereka juga kerap mendaapat perlakuan diskriminatif.
Para tokoh agama Islam dari beberapa lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Aisyiah, Fatayat, Pemuda Anshor, Pimpinan Pondok Pesantren tentunya diharapkan dapat menyampaikan informasi edukasi dan komunikasi pada kelompoknya dan masyarakat sehingga dapat menerima orang yang pernah menderita kusta sebagai manusia seutuhnya.
“Diharapkan adanya penguatan kapasitas dan partisipasi dari tokoh agama dalam mensosialisasikan informasi yang benar tentang penyakit Kusta pada masyarakat sehingga anggapan yang salah tentang kusta dapat berubah,” harap Saiful. (kim)